Beranda | Artikel
Apa Komentar Anda?
Senin, 18 Februari 2019

Bismillah.

Salah satu pertanyaan yang sering kita dengar dan seolah menjadi pertanyaan ‘wajib’ di masa ini adalah ‘apa komentar anda tentang ini dan itu?’. Orang yang ‘pintar’ memberikan komentar pun diangkat sebagai komentator dan pengamat.

Padahal, memberikan komentar dan jawaban dalam perkara apapun membutuhkan landasan ilmu dan pemahaman. Tidak semua orang bisa memberikan komentar yang tepat dan jawaban yang benar atas setiap persoalan dan kejadian. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; itu semua akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Israa’ : 36)

Imam Bukhari jauh-jauh hari telah membuat sebuah kaidah yang indah dalam hal ini, beliau membuat bab dengan judul; Bab llmu sebelum ucapan dan amalan. Ilmu -sebagaimana dikatakan para ulama bersumber dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya- inilah yang akan bisa menjadi pemisah antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan ilmu pula manusia akan mengerti mana jalan menuju surga dan mana jalan yang akan menjerumuskan ke dalam neraka. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila kita teliti kembali, sesungguhnya diantara sebab utama manusia terjerumus dalam dosa syirik kepada Allah adalah disebabkan perkataan tentang Allah tanpa ilmu. Oleh sebab itu Allah menempatkan dosa berbicara tentang Allah dan agama-Nya tanpa ilmu setelah menyebutkan dosa syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan kalian berbicara tentang Allah dengan apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (al-A’raf : 33). Orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak, ini adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Orang yang mengatakan bahwa Allah membutuhkan perantara dalam hal ibadah, ini pun berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Orang-orang yang menganggap bahwa berdoa kepada nabi atau wali yang sudah mati akan menjadi sebab untuk diberi syafa’at pada hari kiamat oleh Allah, ini pun berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

Orang yang mengatakan bahwa dengan melakukan hal-hal yang bid’ah/tidak ada tuntunannya di dalam agama menjadi sebab datangnya kecintaan Allah, ini berarti telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31). Sehingga cara untuk meraih kecintaan Allah adalah dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah.

Perkara Terpenting

Pada era teknologi informasi seperti sekarang ini manusia sering disibukkan dengan kabar dan berita dari berbagai penjuru bumi sehingga waktunya terbuang sia-sia tanpa menuai pahala atau menambah kekuatan imannya. Padahal, waktu demi waktu yang kita lalui adalah medan untuk berjuang mewujudkan tujuan penciptaan kita. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Allah juga berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Orang yang paling bagus amalnya bukanlah orang yang paling banyak berkomentar atas segala peristiwa. Orang yang terbaik amalnya bukanlah yang sibuk menguliti aib orang sementara dia sendiri lalai dari aib dan dosa-dosanya. Orang yang terbaik amalnya adalah yang paling ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan paling sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah perkara terpenting yang banyak dilalaikan manusia. Banyak orang telah terjebak oleh pentas dunia dan gemerlap fatamorgana. Mereka menjadikan dunia sebagai puncak cita-cita dan kesudahan ilmunya. Padahal dunia ini -sebagaimana digambarkan oleh para ulama- bergegas pergi meninggalkan manusia, sementara akhirat datang menghampiri mereka. Manusia sibuk dan hanyut dengan mengejar sesuatu yang akan sirna lantas mereka lalai dari membekali diri menuju alam keabadian.  

Mari Periksa Kondisi Iman Kita

Kehidupan dunia yang sementara ini tidak akan bisa mengantarkan kita menuju kebahagiaan apabila kita tidak menghiasi diri dengan tauhid dan keimanan. Tauhid yang akan membersihkan hati dari segala noda syirik dan pemberhalaan. Iman yang akan mengikis kotoran-kotoran kekafiran dan membakar benih-benih kemunafikan. Hasan al-Bashri rahimahullah mengingatkan, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”

Iman yang bersih dari syirik dan kezaliman itulah yang akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dan ketentraman. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik); mereka itulah orang-orang yang akan diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82). Apabila kita cermati kondisi keimanan kita, maka akan kita jumpai bahwa iman itu terkadang naik dan terkadang turun. Oleh sebab itu para ulama kita mengajarkan kepada kita untuk memohon kepada Allah tambahan keimanan, keyakinan dan pemahaman agama. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari kita untuk berdoa kepada Allah untuk diteguhkan di atas Islam.

Diantara sebab bertambahnya iman adalah dengan membaca dan merenungkan kandungan ayat-ayat Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah kepada mereka keimanan.” (al-Anfal : 3). Dengan demikian sangat penting bagi kaum muslimin untuk membaca al-Qur’an dan menyebarkan ajarannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Kita bisa mendeteksi kondisi hati kita dengan melihat sejauh mana kedekatan kita dengan al-Qur’an. Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya hati kita ini bersih niscaya ia tidak akan merasa kenyang dari menikmati kalam Rabb kita.”

Namun perlu diingat bersama bahwa nilai ilmu yang kita peroleh dari al-Qur’an tidak diukur dengan banyaknya ayat yang kita hafal atau hadits yang kita pahami. Akan tetapi ukurannya adalah dengan kualitas pengaruh ilmu itu pada hati dan perilaku kita; apakah ilmu itu membuahkan amalan dan rasa takut kepada Allah ataukah tidak. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, tetapi hakikat ilmu adalah rasa takut.” Begitu pula nasihat ulama tabi’in bernama Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu senantiasa berstatus jahil/bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkannya maka barulah dia menjadi orang yang benar-benar ‘alim/berilmu.”

Apa Komentar Anda?

Dengan begitu kita akan semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih penting untuk kita komentari dan kita perbaiki; yaitu kondisi hati dan keimanan kita. Karena boleh jadi selama ini kita larut dalam kelalaian dan kedurhakaan dalam keadaan tidak menyadarinya. Komentar itu pun tidak perlu kita umumkan di muka publik atau media sosial; karena sejatinya komentar itu adalah penilaian kita atas kekurangan dan aib diri kita; yang sudah selayaknya kita tutupi dan kita perbaiki. Inilah yang sering disebut oleh para ulama dengan istilah muhasabah atau introspeksi diri.

Dengan kata lain, kita harus meneliti aib diri dan kekurangan pada amal-amal kita selama ini. Apabila seorang muslim mengetahui letak kekurangan dan kesalahannya maka dia akan berusaha untuk memperbaikinya dan menjaga diri agar tidak terjatuh dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Di samping itu seorang yang menyadari kekurangan dan aib-aibnya akan bisa mengikis rasa sombong dan ujub yang menghampiri hatinya, dan dia akan semakin menunduk dan merendah di hadapan Rabbnya. Terkadang seorang berbangga dengan amalnya seolah dia lupa bahwa amal itu adalah buah dari bantuan Allah dan hidayah-Nya, bukan karena kepintaran dan kecerdasannya.

Imam Ahmad rahimahullah ketika disampaikan kepadanya pujian orang-orang kepadanya maka beliau mengatakan, “Apabila seorang telah mengenali hakikat dirinya maka tidaklah berpengaruh baginya ucapan/komentar orang-orang.” Maksudnya, walaupun manusia memuji setinggi langit maka kita menyadari betapa hinanya kita dan banyaknya kekeliruan kita; yang bisa jadi manusia tidak mengetahuinya tetapi Allah Mahamengetahui segala sesuatu. Karena itu pula para ulama kita memberikan nasihat bahwa hakikat keikhlasan itu adalah apabila seorang hamba melupakan pandangan/penilaian manusia dan senantiasa melihat kepada penilaian Allah.

Keikhlasan inilah perkara yang termahal dan paling banyak ditelantarkan oleh manusia. Karena itulah Allah menyatakan bahwa apabila kita mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini niscaya hal itu akan menyesatkan kita dari jalan Allah. Allah juga menyatakan bahwa betapa sedikit diantara hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur. Sebagian ulama salaf berkata, “Sesuatu yang paling sulit/mahal di dunia ini adalah ikhlas.” Kebanyakan orang lebih suka tenar dan dieluk-elukkan oleh pemuja dan penggemarnya, sementara orang yang ikhlas lebih mengejar cinta dan ridha Allah di atas cinta dan ridha manusia.

Para ulama mengatakan, “Orang yang ikhlas akan berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan kejelekan-kejelekannya.” Kecintaan kepada sanjungan dan ambisi terhadap kedudukan di mata manusia membuat banyak orang mabuk dengan kekuasaan dan popularitas. Oleh sebab itu sebagai seorang muslim kita harus berjuang keras untuk mencapai ikhlas. Sebagian ulama mengatakan, “Orang yang berakal adalah yang mengerti akan hakikat dirinya dan tidak terpedaya oleh pujian orang yang tidak mengerti seluk-beluk dirinya.”

Memurnikan Ibadah Kepada Allah

Amalan yang tidak disertai dengan ikhlas akan sia-sia. Sebesar apapun amalan itu. Sebagaimana amalan orang kafir yang tidak dilandasi keimanan akan terbang sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amalan yang pernah mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya bersama-Ku ada sesembahan/pujaan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Walaupun orang itu rajin sholat, rajin bersedekah, dan suka berbuat baik kepada orang lain, tetapi apabila dia melakukan syirik besar maka terhapuslah seluruh amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap dari mereka apa-apa yang selama ini telah mereka amalkan.” (al-An’am : 88). Syirik besar yaitu dengan memalingkan ibadah kepada selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, atau batu dan pohon. Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan sebab manusia terhalang dari masuk surga.

Lantas siapakah diantara kita yang bisa menjamin dirinya pasti selamat? Kalau Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja berdoa kepada Allah supaya dijauhkan dari menyembah patung -yang hal itu merupakan bentuk kesyirikan yang sangat nyata- maka bagaimana lagi dengan kita? Allah menceritakan isi doa Nabi Ibrahim itu (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35). Orang yang beriman akan berbuat baik sembari merasa khawatir amalannya tidak diterima, sedangkan orang kafir melakukan keburukan seraya mengira bahwa dirinya pasti akan selamat. Sehingga orang-orang kafir itu merasa aman dari makar Allah.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/apa-komentar-anda/